Dalam Momen Autis di kepalaku...
M.I: Cilupba! Door! Kaget ya?
RFM: (Hhmm… dia lagi!)
M.I: Kaget kan? Kaget kan?
RFM: (Biar dia senang aku bilang
aja kalau aku kaget) Iya, aku kaget.
M.I: Kaget, kok biasa gitu?
RFM: Jadi harus gimana? Harus
keluar dulu dua bijik mataku ini?
M.I: Ha? Jangan jangan! Bukan
gitu, kamu kan bisa pura-pura kaget, apa salahnya?
RFM: (Aku kan udah pura-pura
kaget!!!)
M.I: Maaf deh, aku ganggu lagi,
aku juga nggak ngerti kenapa hasrat untuk ganggu kamu itu besar sekali.
RFM: Mari kita buat jadi
sederhana. Apa tujuanmu?
M.I: Itu yang mau kutanyakan.
RFM: Ha?!
M.I: Iya, aku tak pernah dapat
jawabannya. Kadang aku merasa iri dengan Archimedes, dia punya pertanyaan dan
masalah bagaimana caranya menghitung volume benda yang bentuknya tak
beraturan. Ia merenung di dalam bak sewaktu mandi. Dan tahu-tahu—eurika!—ia temukan
jawabannya. Sedang aku, sudah berulang kali merenung di bak mandi, melamun di
atas water closet duduk, tapi pertanyaanku tak urung dapat jawaban. Aku kesal.
RFM: Sabar ya… setiap pertanyaan
selalau berpasangan dengan jawabannya, mungkin perlu waktu sedikit lebih lama.
M.I: Nah! Diwaktu yang sedkit
lebih lama itu boleh ya, kalau aku ganggu kamu. Sampai kutemukan jawaban.
RFM: Hhmmm…
M.I: Diammu kuanggap ‘iya’.
RFM: Sebenarnya kamu ini apa?
M.I: Kamu ini apa?
RFM: Iya, apanya kamu ini?
M.I: Iya, apanya yang kamu ini?
RFM: Terserah!
M.I: Mungkin aku ini orang yang
putus asa sekaligus mencinta.
RFM: Putus asa pada apa?
M.I: Keadaan.
RFM: Mencinta siapa?
M.I: Kamu!
RFM: Coba jelaskan.
M.I: Kujelaskan pun kamu nggak
bakalan ngerti.
RFM: Belum coba mana bisa tahu.
M.I: Kamu sudah dengarkan
ceritaku yang sebelumnya? Bahwa dalam jantungku ini setia tertabung cinta,
kasih, dan pengharapan. Ketiganya menumpuk sampai membuat jantunggku sesak!
Seperti balon jika terus diisi angin akan pecah. Aku khawatir jantungku akan
pecah.
RFM: Bagaimana mungkin?
M.I: Coba kamu pahami
perlahan-lahan kata-kataku tadi. Ketiga hal yang menumpuk itu perlu dibagi.
Agar tak terus-terusan sesak dadaku. Tapi aku bingung, pada apa atau siapa? Objek atau wadah apa yang bisa menampungnya? Sampai aku bertemu
kamu.
RFM: Hari ini kamu lebih ngaur
daripada kemarin!
M.I: Terserah, kamu mau bilang
apa. Tapi dalam diriku ada dorongan seperti sesuatu dalam alam bawah sadar yang
minta disadarkan. Aku inginkan kamu jadi pemicunya.
RFM: Yang benar aja, kalau kamu
inginkan itu sama aku. Itu nggak mungkin! Kamu mau dibakar?
M.I: Heyy! Bukan karena aku cinta sama kamu, lantas aku mau main gila sama kamu! Kalau saja kamu mau paham, cinta yang kupunya tidak serendah itu. Jangan samakan ini dengan hubungan indrawi laki-laki dan perempuan. Demi Dia Yanga Mahasuci. Demi Dia Yang Mahamengerti. Tolong kamu jangan salah arti.
RFM: Hhmm…
M.I: Kenapa sih, sulit sekali
buat kamu paham. Andai kamu bisa ikut rasakan betapa tersiksanya aku. Betapa
cinta, kasih, dan pengharapan itu mendesak-desak jantungku. Sebelum bertemu
denganmu sebenarnya perasaan itu telah kurasakan; perasaan mendamba sekaligus
merindu entah kepada apa atau siapa. Namun, saat aku bertemu kamu, saat kita
berdekatan, damba dan rinduku tuntas! Kamu tahu, betapa menakjubkannya damba dan
rindu yang tuntas itu.
RFM: Baik.. baik, kamu terlalu
banyak bicara. Sekarang apa yang harus kulakukan?
M.I: Sederhana saja, kamu cukup
di dekatku. Tertawa lepas di depanku. Jangan canggung denganku. Jadikan aku
tempatmu bercerita. Jadikan aku tempatmu berbagi rahasia. Anggap aku adalah
dirimu, sebagaimana aku menganggap kamu adalah diriku. Itu saja.
RFM: Permintaanmu terlalu
banyak. Sulit-sulit pula.
M.I: Aku mohon…
RFM: Sudah-sudah, kamu jangan
nyembah-nyembah begitu, terlalu lebay tauuu!
M.I: Aku kehabisan cara buat
kamu yakin.
RFM: Tapi aku khawatir, setelah
itu semua kulakukan dan kamu tahu siapa aku. Kamu malah akan menjauh, akan
jijik denganku?
M.I: Demi Dia Yang
Mahabijaksana. Cinta yang kupunya tak menuntut sebab, bukan karena fisikmu,
bukan kebaikanmu, atau karena kamu makhluk sempurna. Aku tak pernah pikirkan
itu, dan mana ada dari kita yang sempurna? Aku pun miliki cacat di sana-sini,
malah aku yang ketakutan setengah mati, kalau-kalau kamu yang akan menjauh.
RFM: Tubuh dan kesadaran kita
selalu inginkan jumlah atau kuantitas yang pas. Otak kita juga inginkan yang
pas tanpa cacat. Otak kita menyukai sesuatu yang durasinya sesuai takaran,
tidak melelahkan, juga tidak terlalu cepat, jika tak mendapatkannya otak bisa saja
bosan. Aku tak bisa jamin dengan perkataanmu itu, bahwa kamu tak akan bosan
denganku, begitu pun sebaliknya.
M.I: Serupa yang kamu bilang:
belum coba, mana bisa tahu. Kamu juga bosankan dengan teori-teori manusia yang
mengekang? Mari sejenak saja kita lupakan asumsi-asumsi itu.
RFM: Gila... bagaimana bisa yang
indah-indah seperti cinta, kasih, dan pegharapan malah sebegitu mengancam?!
M.I: Adakah keindahan itu terukur?
Adakah keindahan itu harus bernama?
RFM: Keindahan yang memberikan
kita kenikmatan. Ia merambah aspek kognitif, afektif, dan indrawi. Mata, hidung,
dan telinga yang menangkap keindahan itu. Namanya, keindahan indrawi.
M.I: Maka ingin kuabaikan
keindahan indrawi itu. Denganmu ingin kutemukan keindahan yang tak terbilang
bahkan tak terjelang. Bersediakah?
RFM: Sejujurnya, aku menyimpan
kekahwatiran dan takut. Adakah ini akan berhasil?
M.I: Maka aku berdoa semoga
mampu kita atasi rasa khawatir dan takut. Semoga Dia tuntun kita seperti
mentatih bayi, sebab Dia Mahapenuntun. Sebab Dia Mahamemaklumi. Sebab Dia
Mahamengerti.
Begitulah…. waktu mengurung mereka, sementara Kitab Takdir terus
dinubuatkan, Surat Takdir terus dikirimkan dan dibacakan. Berulang kali, tanpa
henti, tanpa didengar, tanpa dimengerti, tanpa disadari…