Rindu dan 'rindu' adalah dua hal yang berbeda, yang pertama polos tanpa tanda baca, yang kedua miliki tanda petik. Kalau engkau mau tahu, kedua-duanya tengah hilir-mudik memenuhi ruang kosong dalam dadaku. Sunyi, riuh, dan kehangatannya mengisi setiap senti molekul dan cela di antaranya. Memberiku rasa kecukupan.
Sudah sejak tadi aku mengoceh di depan jejeran bebatuan di pinggir sungai di depanku. Juga pada rerumputan, para perdu, dan dingin angin sebab kini sedang mendung. Satu kesadaran kudapatkan: ternyata pura-pura tidak rindu dan pura-pura tidak peduli adalah tindakan yang jauh lebih menyedihkan, lebih konyol daripada beneran rindu atau beneran peduli. Aku telah mecoba, tapi aku gagal. Aku dikalahkan hati sendiri. Ketahuilah, kita tidak sepenuhnya 24 jam sehari, 7 hari sepekan rasional. Tentu tidak. Justru kita tidak sadar kalau sesungguhnya kita dikendalikan oleh nafsu, kepentingan, kecemasan, dari ranah irasional. Meskipun sering kubuat pembenaran-pembenaran untuk setiap dorongan irasional itu. Sebagaimana engkau, aku pun tak mampu jika harus terus-terusan rasional. Tak bisa terus-terusan menilai segalanya dari akal. Sebab aku juga punya hati, perasaan.
Ketika sedih, yang kita tangkap adalah warna-warna suram. Ketika bahagia, warna-warna itu seketika cerah. Saat marah, nyanyian burung yang merdu jadi tidak terdengar, saat jatuh cinta bau mulut bisa dirasa hangat. Bahkan di situasi mendung saat ini, aku tak peduli jika akan hujan, yang aku pedulikan adalah aku merindukanmu. Itu saja. Rindu dan 'rindu' adalah dorongan yang coba kubawa ketingkat yang lebih tinggi; kesadaran, keberadaan. Aku merindu, maka aku ada. Atau sebenarnya aku sama sekali tidak ada? Yang ada hanya 'Rindu'.
Pada dingin batu, kuceritakan hasrat yang menggebu-gebu ini. Kukatakan jika aku tak sedikitpun lepas dari bayang-bayangmu. Terasa aku seperti meluncur dalam alam antah-berantah. Mimpi dan realitas teraduk. Memori dan halusinasi bercampur. Batas yang semestinya jelas dan baku, sontak melebur jadi satu. Puisi-puisi sederhanaku, tak perlu ditafsirkan jauh-jauh, sebab sudah jelas, karya sastra paling individual itu kerap isinya engkau melulu. Kedengaran cengeng? Semua puisi akan dianggap cengeng, jika dinilai dari ketidakpahaman mengenai hakikat puisi. Tema puisiku tak akan beda selain rindu akan engkau. Rindu yang pamrih, sebab ia meminta engkau hadir. Entah itu dalam wujud gambar di Instagram, Update PM di BBM, kicaumu di twitter, atau status harianmu di Facebook. Apa pun, asalkan kehadiranmu terasa ada.
Rindu kok pamrih?
Lha...yang kita lakukan selama ini juga atas dasar pamrih. Kita lakukan sesuatu itu sebab ada imbalannya. Beribadah juga begitu. Apa masih ada ibadah kalau surga dan neraka ditiadakan? Kita takut neraka, kita mendamba surga, mungkin sebab itu pula kita minta rido-Nya.Kita berpuasa sebab ada pahalanya. Kita zakat sebab dapat menyucikan diri, menyucikan harta. Kita juga sekolah sebab ingin pintar, buat modal masa depan. Jadi apa yang kita lakukan di dunia ini kalau tidak pamrih, kalau bukan atas dasar iming-iming? Jadi boleh dong! Kalau aku merindukanmu sebab aku inginkan keberadaanmu.
Namun sejak tadi, dingin batu seperti sedang mengejekku. Dia bilang aku adalah tipe orang yang payah ikhlas. Sebab aku mengharap ini itu untuk setiap tindakanku. Tapi! kamu juga jahat. Sekedar ingin bertandang ke rumahmu saja aku tak dapat waktu pas. Segalanya penuh alasan. Alasan bahwa engkau tak ada di rumah untuk waktu yang lama, alasan rumahmu sedang ramai tamu, alasan ini, alasan itu. Intinya aku tak engkau izinkan datang? Semuanya juga memang hadir oleh alasan. Ada alasan mengapa batu itu dingin. Ada alasan mengapa sungai mengalir. Ada alasan mengapa bunga mekar. Ada alasan mengapa tak kauizinkan aku berkunjung ke rumahmu. Ada alasan mengapa langit mendung, bahkan kini semakin gelap. Hujan benar-benar akan turun, rintiknya sudah satu-satu jatuh ke tanah. Tapi aku belum ingin beranjak dari sini, aku masih ingin terus bercerita pada batu di pinggir sungai itu, tentang rinduku yang menggebu-gebu, tentang 'rindu'-ku yang pamrih akan keberadaanmu. Tentang alasan engkau menolak kunjunganku; menolakku merindukanmu.
Biarkan saja aku kehujanan, biar basah sekalian. Biar rindu ini juga larut dibawa air hujan mengalir jatuh ke sungai sana. Pada aliran sungai rinduku akan dibawa sampai laut, bermuara pada satu benua, lalu rindu itu akan bercerita pada pantai: tentang seorang anak yang rela kehujanan, kedinginan sebab rindunya ditolak. Kemudian pantai akan tertawa, tawa yang keras, tawa yang mengejek, sembari berkata: 'bodohnya anak itu". Biarlah, dibilang bodoh, ya bodohlah. Toh, bodoh bukanlah sesuatu yang salah.
Lihat... lihat! Beneran hujan,
rinduku beneran larut ke sungai.