Pernahkah kaurasakan kekalahan pada sesuatu yang bahkan
belum kaumulai? Anenya lagi, kautak mengerti sesuatu itu apa. Kauterus
bertanya, tapi yang kaudapatkan bukan jawaban, malah pertanyaan baru yang lebih
rumit dari sebelumya.
Aku mengalami yang demikian....
Terjebak dalam ketidakjelasan. Kadang sunyi sekali. Sesuatu dalam diriku
meronta-ronta minta didengarkan, sialnya aku tak pernah peka pada apa yang coba
ia utarakan. Acapkali aku mengira diriku ini adalah boneka. Diarahkan ke sana –
ke mari tanpa tujuan, digerakkan oleh dalang yang pegang cerita. Aku dimasukkan
dalam jelaga bernama ketidakpastian, diberi beban menaggung perasaan yang aku
sendiri tak pernah bisa defenisikan. Aku dibuat menangis, dibuat kecewa, putus
asa, rindu, mencinta, mendamba, bahagia, lalu semua rasa itu berulang kembali.
Terus seperti itu. Berputar-putar dalamku, sampai diriku yang boneka ini rusak
sebab segala benang pengikatku putus, kapas-kapasku berserakan, bagian tubuhku
belepasan, tinggallah aku boneka usang.
Kutanyakan satu pertanyaan sederhana yang rumit: Terimakah kau jika kukatakan
kaulah penyebabnya? Kaulah yang menyebabkan aku menjadi boneka usang yang tak
lagi miliki bentuk. Kaulah tanya yang ingin kutahu jawabnya. Kaulah
ketidakjelaan dalam kesunyianku. Kaulah beban dari nuansa-nuansa yang tak mampu
kudefenisikan. Pasti kau tak terima jika dituduh demikian. Siapalah aku,
parasit yang menempel padamu, benalu yang mengganggu.
Kalau bicara perkara ketersiksaan, sudah sejak jauh hari kuceritakan. Kaupasti
mengerti bagaimana rasanya menginginkan sesuatu, tapi sesuatu itu tidak bisa
didapatkan. Bukan karena sesuatu itu terlalu mahal atau terlalu mewah, tapi
justru sesuatu itu terlampau sederhana, sangking sederhananya kita bisa
terjebak dalam kerumita yang membuat kita tak bisa mendapatkannya. Mengerti?
Tidak? Simpelnya begini: Kaudapat lihat kabut tapi tak dapat kaugenggam ia. Kau
dapat rasakan angin tapi tak dapat kaulihat ia. Kau bisa dengan suara tapi tak
mampu kau lihat atau sentuh wujudnya. Itulah ketersiksaan yang belakangan ini
aku alami. Setiap hari kesakitan untuk sesuatu yang tak pasti. Setiap saat
jatuh cinta pada kesia-siaan. Menunggu yang tak ingin kembali. Menanti yang tak
datang-datang. Berharap pada kemuskilan. Bertauh untuk kekalahan. Ingin
kulupakan namun aku yang tak bisa.
Tapi di atas itu semua, aku bersyukur pada pertemuan. Kau sudah kuincar bahkan
sebelum kaudatang. Kau sudah kucari-cari bahkan sebelum kita saling kenal.
Kau yang jauh-jauh hari telah kumata-matai, bahkan sebelum mata kita saling
bertemu. Kalau diingat kembali misi itu. Misi yang mengharuskan aku mencicil
data tentangmu, sungguh lucu, aku selalu tertawa kalau mengingatnya
Kini bertemu denganmu, mengapa seperti ada sekat yang terlalu sialan membatasi.
Ada kecanggungan, ragu, dan gugup, seumpama kau semakin jauh sedang aku semakin
jatuh.
Aku ketakutan. Takut sebab ingin jujur. Dan kejujuran menyudutkanku untuk
mengakui jika aku telah salah langkah. Pertanyaan terbesarku: dengan apa bisa
kupahami keadaan ini? Jika kautahu tolong beritahu aku. Kubeberkan satu rahasia
kecil. “Aku mengagumimu”. Untuk beberapa alasan yang tak perlu kautanyakan.
Jangan dulu berpikir yang tidak-tidak. Aku kerap berdoa semoga prasangkamu
menyelamatkan aku. Segala hati Dia yang tahu. Dia pula yang berikan kekaguman
ini, serta membangunnya megah dalam sukmaku. Seberapa keras kupungkiri,
kunistakan, atau tak kuakui, kenyataannya aku akan menyerah. Namun, selain
Dia tanamkan kekagumanku padamu, Dia tanamkan pula ketakutanku pada-Nya. Dan
semoga ketakutanku pada-Nya itu lebih besar dari kekagumanku padamu (tolong
aamiinkan yang satu ini).
Pada akhirnya, pengakuan ini hanya akan jadi olokan di opera sabun. Serupa
dandanan menor pada badut yang coba melucu tapi lawakannya malah terasa getir.
Mungkin
nanti, pada detak waktu yang kesekian, setelah kudapatkan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan rumit itu, dari perasaan yang tak jelas itu. Dari kekaguman
yang dibangun-Nya mengah dalam sukmaku. Setelah sekelumit diriku telah rasakan
kesepian dan bosan. Akan datang sebuah keajaiban yang mampu menjernihkan
kekeruhan ini. Akan terbit cahaya yang menuntun jalanku pada pintu ketenangan,
menghapus langkahku yang salah, memintal kembali benangku yang berputusan,
menyusun kapas-kapasku yang berserakan, menyatukan kembali bagian tubuhku yang
tak berbentuk. Dan jadilah aku boneka yang baru. Boneka-Mu, yang bersedia
kaumainkan dengan cara apa saja.
Lalu kau
akan jadi saksi, bahwa pengakuan ini kutulis hanya sebagai kata pengantar,
mukadimah yang kususun hanya untuk mengucapkan:
“Selamat ulang tahun, Rachmad Fadillah Maha.”
12 September 1996 – 12 Sepetember
2015.