12 September 2015

Boneka-Mu

Pernahkah kaurasakan kekalahan pada sesuatu yang bahkan belum kaumulai? Anenya lagi, kautak mengerti sesuatu itu apa. Kauterus bertanya, tapi yang kaudapatkan bukan jawaban, malah pertanyaan baru yang lebih rumit dari sebelumya.

 Aku mengalami yang demikian....

Terjebak dalam ketidakjelasan. Kadang sunyi sekali. Sesuatu dalam diriku meronta-ronta minta didengarkan, sialnya aku tak pernah peka pada apa yang coba ia utarakan. Acapkali aku mengira diriku ini adalah boneka. Diarahkan ke sana – ke mari tanpa tujuan, digerakkan oleh dalang yang pegang cerita. Aku dimasukkan dalam jelaga bernama ketidakpastian, diberi beban menaggung perasaan yang aku sendiri tak pernah bisa defenisikan. Aku dibuat menangis, dibuat kecewa, putus asa, rindu, mencinta, mendamba, bahagia, lalu semua rasa itu berulang kembali. Terus seperti itu. Berputar-putar dalamku, sampai diriku yang boneka ini rusak sebab segala benang pengikatku putus, kapas-kapasku berserakan, bagian tubuhku belepasan, tinggallah aku boneka usang.

Kutanyakan satu pertanyaan sederhana yang rumit: Terimakah kau jika kukatakan kaulah penyebabnya? Kaulah yang menyebabkan aku menjadi boneka usang yang tak lagi miliki bentuk. Kaulah tanya yang ingin kutahu jawabnya. Kaulah ketidakjelaan dalam kesunyianku. Kaulah beban dari nuansa-nuansa yang tak mampu kudefenisikan. Pasti kau tak terima jika dituduh demikian. Siapalah aku, parasit yang menempel padamu, benalu yang mengganggu.

Kalau bicara perkara ketersiksaan, sudah sejak jauh hari kuceritakan. Kaupasti mengerti bagaimana rasanya menginginkan sesuatu, tapi sesuatu itu tidak bisa didapatkan. Bukan karena sesuatu itu terlalu mahal atau terlalu mewah, tapi justru sesuatu itu terlampau sederhana, sangking sederhananya kita bisa terjebak dalam kerumita yang membuat kita tak bisa mendapatkannya. Mengerti? Tidak? Simpelnya begini: Kaudapat lihat kabut tapi tak dapat kaugenggam ia. Kau dapat rasakan angin tapi tak dapat kaulihat ia. Kau bisa dengan suara tapi tak mampu kau lihat atau sentuh wujudnya. Itulah ketersiksaan yang belakangan ini aku alami. Setiap hari kesakitan untuk sesuatu yang tak pasti. Setiap saat jatuh cinta pada kesia-siaan. Menunggu yang tak ingin kembali. Menanti yang tak datang-datang. Berharap pada kemuskilan. Bertauh untuk kekalahan. Ingin kulupakan namun aku yang tak bisa.

Tapi di atas itu semua, aku bersyukur pada pertemuan. Kau sudah kuincar bahkan sebelum kaudatang. Kau sudah kucari-cari bahkan sebelum kita saling kenal. Kau yang jauh-jauh hari telah kumata-matai, bahkan sebelum mata kita saling bertemu. Kalau diingat kembali misi itu. Misi yang mengharuskan aku mencicil data tentangmu, sungguh lucu, aku selalu tertawa kalau mengingatnya

Kini bertemu denganmu, mengapa seperti ada sekat yang terlalu sialan membatasi. Ada kecanggungan, ragu, dan gugup, seumpama kau semakin jauh sedang aku semakin jatuh.

Aku ketakutan. Takut sebab ingin jujur. Dan kejujuran menyudutkanku untuk mengakui jika aku telah salah langkah. Pertanyaan terbesarku: dengan apa bisa kupahami keadaan ini? Jika kautahu tolong beritahu aku. Kubeberkan satu rahasia kecil. “Aku mengagumimu”. Untuk beberapa alasan yang tak perlu kautanyakan.

Jangan dulu berpikir yang tidak-tidak. Aku kerap berdoa semoga prasangkamu menyelamatkan aku. Segala hati Dia yang tahu. Dia pula yang berikan kekaguman ini, serta membangunnya megah dalam sukmaku. Seberapa keras kupungkiri, kunistakan, atau tak kuakui, kenyataannya aku akan menyerah. Namun, selain Dia tanamkan kekagumanku padamu, Dia tanamkan pula ketakutanku pada-Nya. Dan semoga ketakutanku pada-Nya itu lebih besar dari kekagumanku padamu (tolong aamiinkan yang satu ini).

Pada akhirnya, pengakuan ini hanya akan jadi olokan di opera sabun. Serupa dandanan menor pada badut yang coba melucu tapi lawakannya malah terasa getir.

Mungkin nanti, pada detak waktu yang kesekian, setelah kudapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan rumit itu, dari perasaan yang tak jelas itu. Dari kekaguman yang dibangun-Nya mengah dalam sukmaku. Setelah sekelumit diriku telah rasakan kesepian dan bosan. Akan datang sebuah keajaiban yang mampu menjernihkan kekeruhan ini. Akan terbit cahaya yang menuntun jalanku pada pintu ketenangan, menghapus langkahku yang salah, memintal kembali benangku yang berputusan, menyusun kapas-kapasku yang berserakan, menyatukan kembali bagian tubuhku yang tak berbentuk. Dan jadilah aku boneka yang baru. Boneka-Mu, yang bersedia kaumainkan dengan cara apa saja.

Lalu kau akan jadi saksi, bahwa pengakuan ini kutulis hanya sebagai kata pengantar, mukadimah yang kususun hanya untuk mengucapkan:

“Selamat ulang tahun, Rachmad Fadillah Maha.”

12 September 1996 – 12 Sepetember 2015.

Teruslah jadi puisi yang membuatku terkagum-kagum....

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran