25 September 2015

Lentera



Apa yang engkau cari di dunia ini? Kegembiraan hidup? Apakah perayaan yang meriah? Sambutan dan pujian? Makanan enak? Baju bagus? Tempat-tempat keren? Jalan-jalan yang seru? Apa yang sebenarnya kau cari? Tujuanmu? Pencapaianmu? Citacitamu?

Pertanyaan semacam itu bergelantungan di kepalaku, seperti kera liar yang berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain sambil menjerit-jerit. Tahu-tahu segalanya menjadi raksasa. Aku tinggal onggokan kecil yang kesulitan cari tempat sembunyi. Dahulu, sewaktu kanak-kanak, aku bisa bahagia hanya dengan sebuah lilin. Sesederhana itu. Semakin bertumbuh, lilin dan cahayanya tak lagi menyenangkan. Maka aku mengambil lampion untuk kuterbangkan. Tapi ternyata lampion tak mampu terbang jauh pada akhirnya lampionku jatuh dan terbakar.

Aku mencari-cari sesuatu yang aku tak tahu apa yang sedang kucari. Orang-orang silih berganti datang. Ada yang singgah dan tinggal lebih lama. Ada yang datang sebentar kemudian pergi dan tak kembali lagi. Pemahaman, perspektif perlahan mengubah diriku. Begitulah kita tak semestinya stagnan, hidup yang cair menuntunmu untuk bergerak, mengalir dari hulu hingga ke hilir, untuk akhirnya bermuara pada satu teluk atau selat yang menghantarkan kita ke laut yang abadi.

Tapi aku belum sejauh itu. Masih terombang ambing dalam arus yang tak kutahu apa dan bagaimana. Terkadang aku butuh petunjuk, sekedar peta atau kompas juga perahu rakitan sederhana untukku berlayar ke laut lepas sana. Kerap aku lelah mengayuh perahu sendirian. Belum lagi keterasingan di beberapa tempat terasa sepisau sepi.


Orang-orang datang coba menanamkan tujuan dan ideologi mereka di saat aku kebingungan mencari tujuan dan ideologiku sendiri. Yang lain bahkan menawarkan idalisme yang diklaim sebagai idelaisme bersama. Aku yang lugu, polos sebelum digerus pengetahuan tenggelam dalam tujuan, ideologi, dan idealisme mereka. Mengikut saja. Tanpa kusadari, sewujud entitas dalam diriku kuabaikan. Hinga aku benar-benar kehilangan entitas itu; kehilangan identitasku. Aku terus dipahat dengan palu pemahaman yang tak kutahu apa. Hingga di titik kejenuhan. Aku menjadi pribadi yang penuh kekosongan.

Sampai sebersit cahaya hadir, memberiku sedikit terang, memudarkan gelap batinku.
Cahaya itu kuberinama engkau….

Lalu, aku yang naif menganggap engkaulah entitasku yang hilang, engkaulah keserupaan identitas yang kucari. Aku yang bodoh menerka-nerka. Dalam gelap itu engkaulah lentera yang kupasang untuk terangi jalan. Lentera dengan cahaya jingga kemerahan. Hidup dalam kepekatan. Jujur, dalam ruang gelapku, aku keliru mengartikan cahaya kecilmu. “Aku mengagumimu” itu pengungakapan tertulusku. Kerap pengagumanku menjadi berlebihan. Engaku lentera yang kupasang saat gelap datang dan masih lentera yang kunyalahkan bahgkan saat gelap berganti terang. Aneh bukan melihat seseorang berjalan dalam terang dengan lentera yang menyala di tangannya?

Aku mengerti, bahwa aku telah keliru. Sampailah aku pada pemahaman bahwa aku hanya bisa berada di batas pengungkapan “aku mengangumimu” dan  tak boleh aku lebih dari itu, sebab engkau lentera dalam gelapku, yang jika gelap itu telah hilang maka cahayamu harus kupadamkan.


#RFM

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran