Apa
yang engkau cari di dunia ini? Kegembiraan hidup? Apakah perayaan yang meriah? Sambutan
dan pujian? Makanan enak? Baju bagus? Tempat-tempat keren? Jalan-jalan yang
seru? Apa yang sebenarnya kau cari? Tujuanmu? Pencapaianmu? Citacitamu?
Pertanyaan
semacam itu bergelantungan di kepalaku, seperti kera liar yang berpindah dari
satu dahan ke dahan yang lain sambil menjerit-jerit. Tahu-tahu segalanya
menjadi raksasa. Aku tinggal onggokan kecil yang kesulitan cari tempat
sembunyi. Dahulu, sewaktu kanak-kanak, aku bisa bahagia hanya dengan sebuah
lilin. Sesederhana itu. Semakin bertumbuh, lilin dan cahayanya tak lagi
menyenangkan. Maka aku mengambil lampion untuk kuterbangkan. Tapi ternyata
lampion tak mampu terbang jauh pada akhirnya lampionku jatuh dan terbakar.
Aku
mencari-cari sesuatu yang aku tak tahu apa yang sedang kucari. Orang-orang
silih berganti datang. Ada yang singgah dan tinggal lebih lama. Ada yang datang
sebentar kemudian pergi dan tak kembali lagi. Pemahaman, perspektif perlahan
mengubah diriku. Begitulah kita tak semestinya stagnan, hidup yang cair
menuntunmu untuk bergerak, mengalir dari hulu hingga ke hilir, untuk akhirnya
bermuara pada satu teluk atau selat yang menghantarkan kita ke laut yang abadi.
Tapi aku belum sejauh itu. Masih terombang ambing dalam arus yang tak kutahu apa dan bagaimana. Terkadang aku butuh petunjuk, sekedar peta atau kompas juga perahu rakitan sederhana untukku berlayar ke laut lepas sana. Kerap aku lelah mengayuh perahu sendirian. Belum lagi keterasingan di beberapa tempat terasa sepisau sepi.
Orang-orang datang coba menanamkan tujuan dan ideologi mereka di saat aku kebingungan mencari tujuan dan ideologiku sendiri. Yang lain bahkan menawarkan idalisme yang diklaim sebagai idelaisme bersama. Aku yang lugu, polos sebelum digerus pengetahuan tenggelam dalam tujuan, ideologi, dan idealisme mereka. Mengikut saja. Tanpa kusadari, sewujud entitas dalam diriku kuabaikan. Hinga aku benar-benar kehilangan entitas itu; kehilangan identitasku. Aku terus dipahat dengan palu pemahaman yang tak kutahu apa. Hingga di titik kejenuhan. Aku menjadi pribadi yang penuh kekosongan.
Sampai
sebersit cahaya hadir, memberiku sedikit terang, memudarkan gelap batinku.
Cahaya
itu kuberinama engkau….
Lalu,
aku yang naif menganggap engkaulah entitasku yang hilang, engkaulah keserupaan
identitas yang kucari. Aku yang bodoh menerka-nerka. Dalam gelap itu engkaulah
lentera yang kupasang untuk terangi jalan. Lentera dengan cahaya jingga
kemerahan. Hidup dalam kepekatan. Jujur, dalam ruang gelapku, aku keliru
mengartikan cahaya kecilmu. “Aku mengagumimu” itu pengungakapan tertulusku.
Kerap pengagumanku menjadi berlebihan. Engaku lentera yang kupasang saat gelap
datang dan masih lentera yang kunyalahkan bahgkan saat gelap berganti terang.
Aneh bukan melihat seseorang berjalan dalam terang dengan lentera yang menyala
di tangannya?
Aku
mengerti, bahwa aku telah keliru. Sampailah aku pada pemahaman bahwa aku hanya
bisa berada di batas pengungkapan “aku mengangumimu” dan tak boleh aku lebih dari itu, sebab engkau
lentera dalam gelapku, yang jika gelap itu telah hilang maka cahayamu harus
kupadamkan.
#RFM