16 Oktober 2015

110


Kita tak pernah tahu bahwa dalam 24 jam yang kita lewati, boleh jadi ada sesuatu yang kita tak sadari sudah kita lakukan dan itu berarti. Kita mungkin pula tak sadar telah melakukannya dengan orang yang tak pernah kita duga sebelumnya, dengan yang akrab atau yang asing sekalipun, dengan yang dekat atau jauh, dengan sengaja atau tidak sengaja.
            
Perjalanan pulang bagi saya tak pernah memberi kesan apa-apa. Entah dari mana pun itu, baik dari kampus, rumah teman, atau tempat-tempat absurd yang membuat kelelahan dan akhirnya menuntun niat untuk segera angkat kaki dan pulang ke rumah. Perjalanan pulang tak pernah terlalu menarik buat saya. Sekedar berjalan sendiri mencari jalan raya, lalu menunggu, memilih angkot (saya belum miliki kendaraan pribadi). Segalanya terkesan biasa, paling yang saya lakukan adalah mengamati aktivitas orang-orang di jalan. Melihat dunia-dunia di sekitar saya. Segalanya bergerak cepat, sedang saya pengamat yang lambat. Belum lagi hidup yang begitu-gitu saja, pengulangan yang terus-terusan dilakukan. Perjalanan pulang saya selalu kurang dimensi, monoton, mendekati membosankan. Saya yang rasakan kesunyian berjalan pulang sendirian.
            
Di setiap perjalanan pulang itu sering saya berdialog dengan diri sendiri. Banyak pertanyaan-pertanyaan aneh terlontarkan entah dari mana. Seperti ada bisikan gaib, seperti ada ‘sesuatu’ menemani saya berjalan dan sesekali mengajak saya mengobrol. Rada ngeri memang.
           
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul begitu saja bagai perdu di halaman. Tapi ia tak minta dijawab, ia hanya minta didengarkan. Saya hanya mendengar sedang ia mengungkap, jelas ini berbeda dengan bertanya dan menjawab. Di jalan saya kerap seperti orang gila, ngomong-ngomong sendiri. Namun….kini ada satu momen baru dalam hidup saya yang tahu-tahu datang, terjadi begitu saja tanpa perencanaan, tanpa aba-aba atau hitungan satu, dua, tiga. Segalanya alami, bukan rekayasa dan saya rela menukar apa saja untuk mendapatkannya: perjalanan pulang bersamamu.
            
Mungkin kamu akan menganggap saya orang yang berlebihan dalam menanggapi sesuatu. Percayalah jika kamu berada diposisi saya, kamu akan paham. Sering orang-orang keliru dalam hal menilai. Kita harus bijak menggunakan dua sudut pandang, dua kacamata saat memberi pendapat atau penilaian, sebab yang saya rasakan tetap akan kamu anggap berlebihan jika kamu menilainya dari sudut luar saya. Kamu harus berada di posisi saya, rasakan dulu agar kamu memahami dan mengerti.
            
Kembali ke Perjalanan Pulang Bersamamu, tak begitu jelas sejak kapan saya mulai menanti-nanti itu. Seperti yang pernah saya ceritakan. Rela saya tunggu enam jam, rela hujan-hujanan, rela saya putar arah jalan pulang, rela saya tambah ongkos lebih mahal, rela saya tinggalkan yang penting-penting hanya untuk dapatkan momen pulang bersamamu.
            
Percakapan, tawa yang mengudara, cerita-cerita masa lalu, pandangan hidup adalah sederet bonus dari kebersamaan saat kita berada dalam satu transportasi umum, angkot bernomorkan 110. Mana mungkin saya melewatkannya, mana mungkin saya melewatkanmu. Hanya di saat itulah waktumu dapat saya curi meski cuma sebentar. Saya selalu berdoa dalam hati, semoga pak supir memperlambat laju kendaraannya, atau semoga macet itu tiba untuk kita. Kemacetan yang panjang (maafkanlah cinta yang membuat seseorang menjadi picik, Hahahahaaa!)
            
Jika kamu jeli, ada sesuatu yang sebenarnya penting, mendasar, bagai sebuah terapi, sebuah meditasi, telah kita lalukan. Saya tidak tahu apakah ini kebetulan atau memang sinkronisitas itu terjadi. Kecintaan saya pada buku-buku Psikologi membawa saya pada topik bahasan mengenai metode komunikasi bernama “Dyad” (bahasa latin yang berarti ‘dua’). Metode ini digagas pertama kali oleh seorang spiritualis bernama Charles Bener. Tujuan dasarnya adalah agar jerat logika pikiran dapat tertransendensi. Dalam Dyad, di gagas dua orang untuk saling mendengar dan mengungkapkan.
            
Ingat mendengar dan mengungkap berbeda dengan bertanya dan menjawab. “Dyad” bukanlah percakapan. Meski ada tanya-jawab di sana, tetapi yang diharapkan bukanlah semata-mata jawaban. Pertanyaan hanya sebagai pemancing, sebagai cermin bagi kedua belah pihak. Cermin sejati tidak mendekte, menjustifikasi, atau mengevaluasi, ia hanya memberikan kesadaran dan keberadaannya secara total. Begitupun dengan yang ditanya, tidak diharuskan ia menjawab sebab yang diminta sebenarnya adalah pengungkapan baik secara verbal atau non-verbal. Atau singkatnya yang diharapkan adalah terpecahkannya rumusan: ‘tell me who you are”. “who am I?”, “what am I?”, “what is life?”, “what is God?
            
Itulah yang sebenarnya kita lakukan. Saya bertanya, kamu menjawab. Saya mendengar, kamu mengungkap. Begitu seterusnya dan sebaliknya. Pertalian antara saya dan kamu telah membentuk satu ikatan yang menjebatani pikiran dan batin kita berdua. Meski terkadang ada beberapa factor yang membuat saya atau kamu masih “menutup” atau belum membiarkan sepenuhnya pikiran dan batin kita terbuka satu sama lain, saya mengerti tahapan seperti ini membutuhkan waktu yang tidak singkat.
            
Namun yang jelas saya merasa bahagia. Apakah kamu juga bahagai? Di antara seabrek kegiatan kota, kita berdua melintasinya tanpa beban apa-apa. Sungguh tak ada yang lebih membahagiakan dari itu. Angkot tempat kita berdua duduk menjadi dunia  kecil yang melingkupi kita. Kebisingan menjadi kecil. Realitas menciut hanya berkisar antara saya dan kamu. Dunia sunyi tak ada suara, meski di sekeliling kita ada penumpang lain, ada aktifitas lain, ada entitas lain. Tapi kita sibuk berdua, merajut dunia kita. Meretas segala beban dan menggantikannya dengan kekayaan batin yang sama-sama kita punya. Kita saling bercermin, dari pengungkapan-pengungkapan itu kita saling melihat diri satu sama lain.
            
Saat kamu mulai berkisah tentang apa saja, ucapanmu mengisi sudut-sudut paling sunyi dalam batin saya. Saya dapatkan kekuatan dari sana. Saya dapatkan tujuan hidup. Kesenangan hidup, harapan hidup. Seketika waktu tiada, orang-orang tiada, deru roda ban angkot tiada, suara kelakson tiada, hanya tinggal saya yang mengamatimu saat bercerita. Sesekali kita akan bertukar giliran, saling ungkapkan perasaan. Mengungkapkan apa saja, termasuk yang sudah kita lalui seharian ini.
            
Dalam “Dyad” itu tak ada lagi yang “bercerita”. Kita sebenarnya tak pernah menceritakan apa pun. Kita berhenti “menceritakan”, berhenti “mendiskripsikan”. Melainkan kita berinteraksi langsung dengan kenyataan yang berjalan momen demi momen. “tell me who you are”, dan segenap pertanyaan lainnya dijawab bukan oleh kita berdua, tetapi oleh hembusan angin dari kaca jendela angkot, penumpang-penumpang yang tertidur di perjalanan, Persimpangan juga lampu merah, penyembarng jalan, debu dan asap kenalpot, dan apa pun yang melintas dalam medan kesadaran kita… apa adanya. Si ‘aku’ telah menyibak, menguak dirinya melalui ‘kamu’.
            
Lagi-lagi kamu memberikan pemahaman baru untuk saya. Selama perjalanan pulang, kita berdua telah melakukan penelusuran spiritual yang luar biasa. Tanpa sadar kita telah bekerja sama untuk itu. Kita gali yang batiniah dalam diri kita dengan menggunakan jasad yang kasat mata. Llewat perantara tanya-jawab, mendengar-mengungkapkan. Dalam dinamika kehidupan kita, semua orang atau semua makhluk berperan sebagai jaring atau kail pemancing untuk menemukan kesejatian itu. Termasuk ‘aku’ yang hadir dan ‘kamu’ yang terasa keberadaannya. Saya sungguh berterima kasih telah dipertemukan denganmu, sehingga kita saling kenal-mengenali. Saya percaya ada alasan di setiap pertemuan, bukan tanpa tujuan Tuhan memperkenalkan kita. Saya pun yakin untuk tujuan yang entah apa itu, bersamamu saya tak harus khawatir jika nanti pulang sendirian lagi. Sebab saya akan mengingat percakapan-percakapan denganmu ketika roda angkot melaju. Mungkin saya akan terseyum, tertawa, atau cakap-cakap sendiri di jalan. Yang terpenting batin saya terpenuhi dan tercukupi. Semoga kamu pun rasakan dan alami apa yang saya rasakan dan alami ini. Sebab saya bahagia, semoga kamu pun juga. 

Aamiin.



Ps. Jangan bosan-bosan ya pulang dengan saya. :D

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran