Kita
tak pernah tahu bahwa dalam 24 jam yang kita lewati, boleh jadi ada sesuatu
yang kita tak sadari sudah kita lakukan dan itu berarti. Kita mungkin pula tak
sadar telah melakukannya dengan orang yang tak pernah kita duga sebelumnya, dengan
yang akrab atau yang asing sekalipun, dengan yang dekat atau jauh, dengan
sengaja atau tidak sengaja.
Perjalanan pulang bagi saya tak
pernah memberi kesan apa-apa. Entah dari mana pun itu, baik dari kampus, rumah
teman, atau tempat-tempat absurd yang membuat kelelahan dan akhirnya menuntun
niat untuk segera angkat kaki dan pulang ke rumah. Perjalanan pulang tak pernah
terlalu menarik buat saya. Sekedar berjalan sendiri mencari jalan raya, lalu
menunggu, memilih angkot (saya belum miliki kendaraan pribadi). Segalanya
terkesan biasa, paling yang saya lakukan adalah mengamati aktivitas orang-orang
di jalan. Melihat dunia-dunia di sekitar saya. Segalanya bergerak cepat, sedang
saya pengamat yang lambat. Belum lagi hidup yang begitu-gitu saja, pengulangan
yang terus-terusan dilakukan. Perjalanan pulang saya selalu kurang dimensi,
monoton, mendekati membosankan. Saya yang rasakan kesunyian berjalan pulang
sendirian.
Di setiap perjalanan pulang itu
sering saya berdialog dengan diri sendiri. Banyak pertanyaan-pertanyaan aneh
terlontarkan entah dari mana. Seperti ada bisikan gaib, seperti ada ‘sesuatu’
menemani saya berjalan dan sesekali mengajak saya mengobrol. Rada ngeri memang.
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul
begitu saja bagai perdu di halaman. Tapi ia tak minta dijawab, ia hanya minta
didengarkan. Saya hanya mendengar sedang ia mengungkap, jelas ini berbeda
dengan bertanya dan menjawab. Di jalan saya kerap seperti orang gila,
ngomong-ngomong sendiri. Namun….kini ada satu momen baru dalam hidup saya yang
tahu-tahu datang, terjadi begitu saja tanpa perencanaan, tanpa aba-aba atau
hitungan satu, dua, tiga. Segalanya alami, bukan rekayasa dan saya rela menukar
apa saja untuk mendapatkannya: perjalanan pulang bersamamu.
Mungkin kamu akan menganggap saya
orang yang berlebihan dalam menanggapi sesuatu. Percayalah jika kamu berada
diposisi saya, kamu akan paham. Sering orang-orang keliru dalam hal menilai.
Kita harus bijak menggunakan dua sudut pandang, dua kacamata saat memberi
pendapat atau penilaian, sebab yang saya rasakan tetap akan kamu anggap
berlebihan jika kamu menilainya dari sudut luar saya. Kamu harus berada di
posisi saya, rasakan dulu agar kamu memahami dan mengerti.
Kembali ke Perjalanan Pulang
Bersamamu, tak begitu jelas sejak kapan saya mulai menanti-nanti itu. Seperti
yang pernah saya ceritakan. Rela saya tunggu enam jam, rela hujan-hujanan, rela
saya putar arah jalan pulang, rela saya tambah ongkos lebih mahal, rela saya
tinggalkan yang penting-penting hanya untuk dapatkan momen pulang bersamamu.
Percakapan, tawa yang mengudara,
cerita-cerita masa lalu, pandangan hidup adalah sederet bonus dari kebersamaan
saat kita berada dalam satu transportasi umum, angkot bernomorkan 110. Mana
mungkin saya melewatkannya, mana mungkin saya melewatkanmu. Hanya di saat
itulah waktumu dapat saya curi meski cuma sebentar. Saya selalu berdoa dalam
hati, semoga pak supir memperlambat laju kendaraannya, atau semoga macet itu
tiba untuk kita. Kemacetan yang panjang (maafkanlah cinta yang membuat
seseorang menjadi picik, Hahahahaaa!)
Jika kamu jeli, ada sesuatu yang
sebenarnya penting, mendasar, bagai sebuah terapi, sebuah meditasi, telah kita
lalukan. Saya tidak tahu apakah ini kebetulan atau memang sinkronisitas itu
terjadi. Kecintaan saya pada buku-buku Psikologi membawa saya pada topik
bahasan mengenai metode komunikasi bernama “Dyad” (bahasa latin yang berarti
‘dua’). Metode ini digagas pertama kali oleh seorang spiritualis bernama
Charles Bener. Tujuan dasarnya adalah agar jerat logika pikiran dapat
tertransendensi. Dalam Dyad, di gagas dua orang untuk saling mendengar dan
mengungkapkan.
Ingat mendengar dan mengungkap
berbeda dengan bertanya dan menjawab. “Dyad” bukanlah percakapan. Meski ada tanya-jawab
di sana, tetapi yang diharapkan bukanlah semata-mata jawaban. Pertanyaan hanya
sebagai pemancing, sebagai cermin bagi kedua belah pihak. Cermin sejati tidak
mendekte, menjustifikasi, atau mengevaluasi, ia hanya memberikan kesadaran dan
keberadaannya secara total. Begitupun dengan yang ditanya, tidak diharuskan ia menjawab
sebab yang diminta sebenarnya adalah pengungkapan baik secara verbal atau
non-verbal. Atau singkatnya yang diharapkan adalah terpecahkannya rumusan:
‘tell me who you are”. “who am I?”, “what am I?”, “what is life?”, “what is
God?
Itulah yang sebenarnya kita lakukan.
Saya bertanya, kamu menjawab. Saya mendengar, kamu mengungkap. Begitu
seterusnya dan sebaliknya. Pertalian antara saya dan kamu telah membentuk satu
ikatan yang menjebatani pikiran dan batin kita berdua. Meski terkadang ada
beberapa factor yang membuat saya atau kamu masih “menutup” atau belum
membiarkan sepenuhnya pikiran dan batin kita terbuka satu sama lain, saya
mengerti tahapan seperti ini membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Namun yang jelas saya merasa
bahagia. Apakah kamu juga bahagai? Di antara seabrek kegiatan kota, kita berdua
melintasinya tanpa beban apa-apa. Sungguh tak ada yang lebih membahagiakan dari
itu. Angkot tempat kita berdua duduk menjadi dunia kecil yang melingkupi kita. Kebisingan
menjadi kecil. Realitas menciut hanya berkisar antara saya dan kamu. Dunia
sunyi tak ada suara, meski di sekeliling kita ada penumpang lain, ada aktifitas
lain, ada entitas lain. Tapi kita sibuk berdua, merajut dunia kita. Meretas
segala beban dan menggantikannya dengan kekayaan batin yang sama-sama kita
punya. Kita saling bercermin, dari pengungkapan-pengungkapan itu kita saling
melihat diri satu sama lain.
Saat kamu mulai berkisah tentang apa
saja, ucapanmu mengisi sudut-sudut paling sunyi dalam batin saya. Saya dapatkan
kekuatan dari sana. Saya dapatkan tujuan hidup. Kesenangan hidup, harapan
hidup. Seketika waktu tiada, orang-orang tiada, deru roda ban angkot tiada,
suara kelakson tiada, hanya tinggal saya yang mengamatimu saat bercerita.
Sesekali kita akan bertukar giliran, saling ungkapkan perasaan. Mengungkapkan
apa saja, termasuk yang sudah kita lalui seharian ini.
Dalam “Dyad” itu tak ada lagi yang
“bercerita”. Kita sebenarnya tak pernah menceritakan apa pun. Kita berhenti
“menceritakan”, berhenti “mendiskripsikan”. Melainkan kita berinteraksi
langsung dengan kenyataan yang berjalan momen demi momen. “tell me who you
are”, dan segenap pertanyaan lainnya dijawab bukan oleh kita berdua, tetapi
oleh hembusan angin dari kaca jendela angkot, penumpang-penumpang yang tertidur
di perjalanan, Persimpangan juga lampu merah, penyembarng jalan, debu dan asap
kenalpot, dan apa pun yang melintas dalam medan kesadaran kita… apa adanya. Si
‘aku’ telah menyibak, menguak dirinya melalui ‘kamu’.
Lagi-lagi kamu memberikan pemahaman
baru untuk saya. Selama perjalanan pulang, kita berdua telah melakukan
penelusuran spiritual yang luar biasa. Tanpa sadar kita telah bekerja sama
untuk itu. Kita gali yang batiniah dalam diri kita dengan menggunakan jasad
yang kasat mata. Llewat perantara tanya-jawab, mendengar-mengungkapkan. Dalam
dinamika kehidupan kita, semua orang atau semua makhluk berperan sebagai
jaring atau kail pemancing untuk menemukan kesejatian itu. Termasuk ‘aku’ yang
hadir dan ‘kamu’ yang terasa keberadaannya. Saya sungguh berterima kasih telah
dipertemukan denganmu, sehingga kita saling kenal-mengenali. Saya percaya ada
alasan di setiap pertemuan, bukan tanpa tujuan Tuhan memperkenalkan kita. Saya
pun yakin untuk tujuan yang entah apa itu, bersamamu saya tak harus khawatir
jika nanti pulang sendirian lagi. Sebab saya akan mengingat percakapan-percakapan
denganmu ketika roda angkot melaju. Mungkin saya akan terseyum, tertawa, atau
cakap-cakap sendiri di jalan. Yang terpenting batin saya terpenuhi dan tercukupi. Semoga kamu
pun rasakan dan alami apa yang saya rasakan dan alami ini. Sebab saya bahagia,
semoga kamu pun juga.
Aamiin.
Aamiin.
Ps. Jangan bosan-bosan ya pulang
dengan saya. :D