Biarkan aku berdesir dalam benakku sendiri, menguapkan
aneka kabut perasaan yang menyesakkan dada dan membutakan pandangan mata, yang
kerap membuatku jatuh tersungkur tak berdaya.
Aku tak
tahan menetap di tempat suram ini
Aku muak
menjalani serangkaian alur yang membatasi
Tak
kupahami
Kemana
harus aku memaki?
Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu.
Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu.
Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu.
Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu.
Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu.
Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu. Bisu.
Bisu. Bisu. Diam.
***
Kau merangkai paragraf ini ketika malam mendekati pagi. Ketika detak jam adalah yang paling sepi. Ketika denyut jantung dan denyut angin dapat disimak serupa. Pun ketika keheningan adalah kebisingan yang sesungguhnya. Halo, si Pembosan atau harus kaupanggil dia si Penggemar Hujan? Atau adalah dia kopi hitam paling pahit? Tidak, dia adalah si Pemalu, yang bersembunyi lewat puisi-puisi. Si Pemalu yang sulit kaumengerti.
Kaupikir dengan tidak menciptakan
pertemuan akan membuat dirimu semakin membaik, akan membuat dirimu mudah lupa, ternyata
sampai detik ini dia masih tempat tujuan rindumu bermuara. Dapatkah dia bayangkan
saat apa pun yang terjadi dalam hidupmu seperti hanya sebuah kesia-siaan?
Segala kesibukan yang kaubuat, segala waktu yang kaucuri-simpan adalah gelagat-gelagat
yang kau upayakan agar tak hanya dia dalam ingatanmu.
Mungkin dapat kau tenangkan diri
dengan sebatang rokok, seperti dirinya. Dia bilang setiap kali selesai merokok
dia merasa tenang. Ketenangan itu, apakah kau pun juga mampu dapatkan dari
sebuah tabung seukuran jari, yang berisi tembakau-tembakau kering? Setidaknya
asap yang kau hebuskan dapat membentuk wajahnya, sementara saat itu juga
tembakau membunuhmu perlahan. Sungguh itu ironi.
Mungkin kini dia sedang berbahagia.
Berbahagialah atas doa-doaku untukmu.
Begitu selalu hatimu bilang. Menulislah
apa yang kau ingin tulis, jadilah seperti apa yang kau mau, dan tak perlu
melihat aku, itu tugas pentingmu: mengabaikan sepotong diam yang tak henti
merindu.
Andai dia dapat melihat siksaan
seperti apa yang kau alami setiap kali kalian berpapasan di jalan. Bahkan kala
berada di satu ruang yang sama, tanpa sapa, tanpa kata, tanpa gerak dan
aba-aba. Tak ada salam pertemuan, tak ada pertanyaan “apa kabar?” dia hanya
pada dunianya, kauterus berpura-pura dalam duniamu.
Tentang hari-hari yang sempat
kalian lewati, kau selalu bertanya-tanya di bagian mana dirimu bermakna? Kau pikir
dapat temukan itu dalam tulisannya, dalam puisi-puisi satirnya, tapi sepertinya
tentang kalian tak ada yang istimewa, sehingga tak layak untuk dia tuliskan.
Ada sosok lain dalam tulisannya
yang kaubaca. Fakta yang lebih pahit dari secangkir kopi pahit, dan kini kau
tenggak secara paksa adalah rindumu dan rindunya tak pernah sepaham.
Beberapa hari yang lalu, langit
kota begitu terik. Panasnya menjalari sampai otakmu. Kau berdoa agar hujan
turun, seperti yang selalu dia minta, semata-mata agar dia dapat menulis. Hujan
telah jadi syarat mutlak antara dirinya dan setiap sajak yang dia reka. Dan
benar saja, hujan pun turun. Langit menangis, entah untuk kesedihan atau
kegembiraan? Dan itulah yang selalu kau tanyakan, sebenarnya langit menangis
karena duka atau bahagia?
Namun, hujan kali ini hanya
mengantar kegetiran. Kau tak perlu hujan untuk menuliskan seribu kisah patah
hati, tetapi tak pernah sanggup kauceritakan rindu yang tak lagi sepemahaman.
Maka, kau muak menulis. Kau muak mencipta dirinya dalam sajak-sajak. Kau muak
menggambarkan dirinya dalam setiap lambang bunyi ujaran itu. Kau muak menghabiskan
lembar demi lembar halaman hanya demi menuliskan namanya.
Kau muak! Muak! Muak! Muak!
Buku catatanmu kau campakkan hingga
membentur dinding kamar. Kau ingin menangis, tapi hatimu melarang. Kau ingin
teriak, hatimu tetap melarang. Kau ingin mengamuk, hatimu masih melarang. Tapi mengapa
untuk jatuh merindu padanya, hatimu tak pernah melarang?
Perasaan-perasaan yang membuatmu
lelah, kau tertidur dalam tangis yang tak sempat tumpah, dalam kesedihan yang
tak mampu air mata utarakan, dalam gelap yang menyekapmu perlahan. Ya, gelap
itu, magi yang menyulap semesta batimu. Kau pun lihat dia duduk di paling pojok
hatimu. Sendirian. Selajur cahaya membias di wajahnya, kau rasakan tangisan.
Tangisan siapa? Dia ataukah engkau?
Siapakah engkau
Yang bersembunyi dalam jasad itu
Mengapa kuat aku terpikat padamu
Padamu atau pada jasad itu?
Kau tak tahu lagi siapa yang
bertanya, dirimu ataukah dirimu yang lain. Aneh! Siapa bilang ini aneh? Ini
dunia! Alam yang berbalik atau terbalik, tak ada batas untuk keanehan. Segalanya
bisa terjadi bahkan tanpa alasan, bentuk-bentuk yang nyata meski kasat mata.
Walau kau remukkan dunia, tetap tak mampu kau ubah persepsi setiap entitas di
dalamnya. Dunia ini tempat yang memuntir dirimu untuk menangis, merindu,
mencinta pada yang bisa ada atau tiada. Pada yang nyata atau ilusi semata.
Dunia ini yang membuat kau menulis hingga bermimpi tentang dia yang adalah duniamu
kini; tentang kini dia yang duniamu; tentang duniamu dan dia yang kini kau
dalam duniamu; tentang yang dalam dia dan dalam duniamu; tentang duniamu yang
ada dia, yang kini dia dalammu dalam dunianya.
K a u
p u n
g i l a.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar