Tulisan ini diikutsertakan
dalam
Story Telling Competition 27 Maret - 13 April 2017
yang diselenggarakan oleh Bank
Sumut.
Celengan
Oleh
Muhammad Ikhsan
Sumber Gambar: Google |
Beginilah yang
dapat kuingat dari kisah hidup kita:
Waktu
itu, seperti biasa aku tengah berada di atas lemari pakaian Cahya. Ia baru saja
memasukkan dua koin perak kedalamku. Bunyi logam yang saling beradu setiap kali
Cahya memasukkan koin adalah tanda bahwa aku semakin penuh juga berat. Jo,
abangnya Cahya datang sambil menenteng sesuatu. Sebuah kotak yang telah
dibungkus kertas kado merah jambu. Aku sempat mendengar bahwa hari ini adalah
hari ulang tahun Cahya, usianya telah sembilan tahun.
Gadis
periang pemilik lesung pipi yang manis itu membuka kado dari Jo perlahan. Dan dari
sanalah kamu berasal, sebuah celengan bentuk beruang yang tersenyum lebar.
“Kok
celengan lagi bang?” Cahya merengut sebab tentu dia tak menginginkan celengan,
aku telah jadi celengan favoritnya.
“Celengan
ayam Cahya kan sudah hampir penuh dan nanti mesti dipecahkan kalau mau
mengambil isinya. Abang belikan celengan baru sebagai gantinya nanti.” Ucap Jo
sembari mengacak-acak jahil rambut cahya.
“Tapi
Cahya enggak mau celengan ayam Cahya dipecahin!”
“Jadi
Cahya enggak mau hitung berapa tabungan Cahya?”
Cahya
menggeleng. “Biarkan saja, Cahya enggak mau ambil uang di dalamnya.”
“Yasudah
kalau begitu, nanti abang belikan hadiah yang lain, tapi celengan beruang ini
Cahya gunakan untuk menabung juga ya.”
Dan
begitulah, akhirnya Cahya meletakkan kamu di atas lemari pakaiannya, persis di
sampingku. Kamu tampak murung lantaran bersedih mendapati respon Cahya yang
tidak menyukaimu.
Beberapa
hari berlalu sejak kedatanganmu ke kamar ini. Kita belum juga saling bicara.
Kamu terus diam, sesekali berdehem, sesekali juga melihat-lihat keadaan kamar
Cahya. Kamu mengamati foto-fotonya di dinding, juga di atas meja rias. Seluruh
ruangan diisi benda-benda berwarna merah muda, khas kamar anak perempuan yang
imut. Kamu juga terkejut melihat ada boneka Teddy di kamar ini, sebuah boneka
beruang yang sama seperti kamu. Hanya saja Teddy yang ukurannya dua kali dirimu
itu sedang memegang bantal berbentuk hati. Boneka itu tersenyum padamu dan kamu
pun balas tersenyum padanya.
Sempat
diam beberapa saat, akhirnya kamu membuka suara.
“Kamu
sudah lama di sini?”
Aku
tentu heran, lantaran tak menduga jika kamu akan bicara padaku.
“Sekitar
enam bulan.”
“Menurut
kamu mengapa Cahya tidak menyukaiku?” wajah murungmu kembali lagi.
“Tidak
seperti itu, lama-lama juga dia akan menyukaimu.”
“Tapi
kenapa dia tetap tidak memasukkan koin kedalamku? Dia terus memasukkanmu koin,
padahal kamu sudah sangat penuh.”
“Barangkali
dia akan berhenti melakukan itu, saat aku benar-benar telah penuh.” Hanya itu
yang bisa kuucapkan padamu, agar kamu terhibur dan tidak terus murung.
Sejak
saat itu kala kamar Cahya sedang sepi, kita jadi lebih sering bercerita. Kamu
banyak mengisahkan tentang dirimu yang berasal dari sebuah toko mainan. Kamu
punyak banyak teman di sana, dan sungguh berat saat kamu mesti berpisah dengan
mereka. Masuk ke dalam sebuah kotak yang gelap lalu menjadi hadiah ulang tahun
seseorang.
“Kalau
kamu dari mana asalmu, apakah toko mainan juga?” tanyamu dengan wajah beruang
penasaran.
“Aku
tidak berasal dari toko mainan. Aku celengan ayam yang dibuat neneknya Cahya.
Neneknya Cahya seorang pengrajin tembikar. Ia punya toko yang penuh dengan
barang-barang dari tanah liat.”
Sejak
itu kamu akhirnya mengerti mengapa Cahya begitu sangat menyayangiku. Tapi kamu
juga tak perlu menunggu waktu yang lama untuk akhirnya Cahya lebih sering
memasukkan koin kedalammu. Aku telah benar-benar penuh. Tak ada koin yang bisa Cahya
masukkan. Hal itu terus terjadi, Cahya telah lebih sering tersenyum padamu
setiap kali ia menabung.
Sampai
suatu hari, kita mendengar sayup-sayur kabar bahwa Jo mengalami kecelakaan.
Seisi rumah begitu panik, kita tak terlalu tahu apa yang sedang terjadi. Sebab
kita tak terlalu mengerti apa-apa yang kerap dibicarakan di rumah ini. Untuk
beberapa hari kita tak melihat Cahya.
Tapi
ketika sore hari Cahya masuk ke kamar. Ia duduk terdiam di kasurnya, memikirkan
sesuatu. Lalu perlahan Cahya melihat ke arah kita. Ia berjalan perlahan
mendekati kita, lalu tangannya meraihmu.
“Aku
mau mebelikan hadiah untuk bang Jo,” ucap Cahya padamu.
Dengan
kasar Cahya mengguncang-guncangkan dirimu agar koin-koin yang ada di dalammu
keluar. Beberapa kali ia memukulimu, dan sempat hendak menjatuhkan dirimu ke
lantai. Tapi urung lantaran kamu adalah hadiah pemberian Jo, dan Cahya tidak
jadi memecahkanmu karena itu.
Beberapa
koin dan lembar uang kertas berhasil Cahya dapatkan. Ia sedikit berusaha dengan
mencungkil-cungkil lubang di kepalamu menggunakan sendok besi. Setelah
mendapatkan uang itu Cahya meletakkan kamu kembali di sampingku, lalu pergi.
Dan kamu menangis, lantaran merasakan pusing dan sakit.
“Cahya
benar-benar tidak menyukaiku!” kamu menangis sesungukkan.
“Dia
tidak memecahkanmu, berarti dia menyayangimu.” Ucapku pilu.
“Buktinya,
mengapa dia malah mengambil uang dariku, padahal aku belum terisi setengah.
Kamu yang penuh malah dibiarkan!”
Setelah
itu kamu tidak bicara lagi. Kita terus diam, enggan membahas apa yang telah
terjadi.
***
Suatu malam,
kita melihat Cahya berbaring di tempat tidurnya sambil menggigil. Ibu Cahya
datang dengan baskom berisi air hangat dan kain untuk mengompres Cahya. Sosok
makhluk berjubah putih kita lihat melayang-layang di sekitar kamar. Sosok itu seperti
sedang menunggu sesuatu, entah apa.
Jo
datang, kita lihat lengannya penuh dengan perban. Barangkali ia telah baikan.
Jo dan Ibu Cahya membicarakan sesuatu tentang penyakit menular di rumah sakit.
Barangkali lantaran menginap di rumah sakit, Cahya tertular penyakit di sana.
Kamu pun ikut khawatir melihat keadaan Cahya. Saat itu juga Jo dan Ibu Cahya
membawa Cahya, mungkin untuk diobati. Sembari kita juga melihat sosok putih itu
mengikuti mereka.
Berhari-hari
hingga berminggu-minggu, kita tak tahu lagi apa yang terjadi. Kita terus
menanti di kamar Cahya, tepat di atas lemari. Menanti dia pulang dan kembali
memasukkan koin. Juga menanti Cahya kembali tersenyum pada kita. Meski tidak
saling mengungkapkannya, tapi kita sama-sama saling mengetahui, jika kita
sangat merindukan Cahya.
***
Di malam yang
sedang turun hujan, Jo datang menghampiri kita. Kita kaget mendapati kedatangan
Jo yang tiba-tiba. Jo mengeluarkan beberapa potong pakaian Cahya dari lemari
dan memasukkannya ke dalam tas. Jo begitu terburu-buru, nampak raut sedih dari
wajahnya. Sebelum pergi Jo memandangi kita, seolah sedang menimbang-nimbang
sesuatu. Jo putuskan membawa kita turut serta bersamanya. Lantaran tas yang ia
bawa telah penuh dengan pakian, Jo memeluk kita, membawa kita dalam pelukannya
di dada. Kita bahkan mendengar degub jantung Jo berdetak cepat. Kita juga
mendengar dengus napas Jo saling memburu. Ia begitu menghawatirkan sesuatu.
Tatkala
sampai di rumah sakit, kita melihat Cahya tengah berbaring dengan selang infus
di lengannya. Meski begitu, Cahya tetap terlihat manis dan imut. Ia terbangun
dan tersnyum ke arah kita. Bersama dengan itu kita mendapati sosok putih yang
pernah kita lihat di kamar Cahya, kini melayang-layang di sekitar Cahya. Kita sempat
berteriak mengusirnya juga berteriak pada Jo untuk mengusir makhluk itu,
tetapi Jo sama sekali tidak menggubris kita.
***
Begitulah yang
dapat kuingat dari kisah hidup kita:
Saat
kita kembali ke kamar Cahya, orang-orang telah memenuhi rumah. Sambil serempak
membacakan sesuatu yang samar-samar kita dengar sebagai doa. Kita akhirnya sama
menyadarai kamar Cahya sungguh sunyi. Kita sungguh merindukannya.
Seorang
wanita dengan kerudung putih bersama Ibu Cahya datang mengambil sesuatu di
kamar Cahya.
“Ini
celengan Cahya ya?” Tanya wanita itu.
Ibu
Cahya mengangguk. Kita melihat mata Ibu Cahya sembab.
“Anak
yang baik, bahkan setelah pergi masih meninggalkan sesuatu yang berguna.” Ucap
wanita itu sambil memandangi kita, dua celengan ayam dan beruang yang sedang
menanti seseorang. [*]
Keterangan:
Cerpen 1.162 Kata
Cerpen terinspirasi dari kisah nyata, penulis menggunakan POV benda mati (celengan ayam dan beruang) agar dapat mendambah kesan cerita.
Cerita ini didukung oleh Bank sumut #Ayokebanksumut
#Banknyaorangsumut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar