Diikut
sertakan dalam tantangan #KampusFiksi 10 Days Writing Challenge
18-27
Januari 2017
Hari
kesembilan
#10DaysKF
Tulislah sebuah surat untuk seseorang.
Beginilah surat yang berhasil aku tuliskan. Sebuah cuplikan fragmen dari satu pengalaman. Semoga kamu ingat. Seperti aku yang selalu teringat.
Bumi Perkemahan
Pramuka, Sibolangit....
Dalam bentuk lingkaran di tengah api unggun yang ramai-ramai kita ciptakan. Ini pandangan keenamku. Dan Mata ini tidak pernah jauh-jauh dari menatapmu serta ikut tertawa pada setiap guyonan yang kamu suguhkan. Tiada yang kuanggap salah ataupun benar tentang hal itu. Menatapmu tanpa engkau tahu. Sudah sejak sore tadi disepakati, kamulah bintang utama untuk agenda malam ini. Kamulah yang berbicara dan menjadi pemandu untuk kegiatan pada jam nyaris tengah malam.
Sudah lewat setengah jam dari mukadimah yang begitu panjang kamu utarakan. Kamu
menjelma jadi feromon yang begitu menarik bahasaku. Bahasa berbentuk perasaan
yang sampai detik ini sukar kutemukan cara bagaimana menyampaikannya. Pesan
yang dengannya dapat kuperhatikan sorot matamu padahal tak ada lampu di tempat
kita berdiam, hanya sayup-sayup cahaya api unggun meremangi. Agak redup, namun
tak membikin gugup. Sedikit gelap tapi kamu masih dapat terlihat. Aku menebak-nebak peristiwa manis
macam apa yang akan terjadi.
Kamu memulai dengan tema sebuah jendela. Tema yang sebelumnya aku sudah tahu,
tapi sengaja agar agenda ini tetap berjalan, aku terus mendengarkan kamu dan
tema jendela yang kebanyakan aku sudah tahu. Jendela pada umumnya punya empat
kotak atau empat ruang, katamu dalam keremangan saat itu. Dan dalam hati aku
berujar, bahwa dari empat ruang itu, masing-masing melambangkan aura, dari
setiap sisi unik manusia. Kamu menjelaskan tentang sisi terbuka dan sisi
tertutup pada jendela. Semua fokus tertuju pada cerita jendelamu. Aku tak kalah
beda, kamu tujuanku, alasan mengapa aku ikut dalam agenda yang memaksaku harus
melek sampai di dini hari. Tiada yang kuanggap salah atau benar tentang itu.
Aku hanya mengikuti arus yang mengarahkanku padamu.
Secarik kertas dan alat tulis.
Kamu perintahkan kami untuk menggambar pada kertas, pilih satu gambar dalam
benak kemudan gambarkan, lalu nanti harus kami kemukakan, mengapa gambar itu
yang kami pilih dan pikirkan. Aku tertarik, bahkan rasa ngantuk tak mampu mengusik.
Korneaku masih lamat-lamat mencuri sosokmu. Aku tidak ingin terlalu kentara.
Sambil kupikirkan, satu gambar yang pada perkumpulan ini akan kubeberkan.
Hatiku atau lebih tepatnya otakku, menimbang-nimbang wujud apa yang akan
kutorehkan pada secarik kertas ini. Jujur aku bingung, hal-hal semacam ini
selalu membingungkanku. Tentang jati diri, pilihan hidup, keputusan penting,
dan rentetan siklus yang tanpa kusadari telah membentuk diriku sampai detik
ini.
Gambar pertama, dimulai oleh pria yang ada di sampingmu. Kertasnya berisikan
gambar pion catur. Kami semua bertanya-tanya apa maksud dari pion catur itu.
Pria di sampingmu menjawab, dalam benaknya dirinya layak diserupakan pion
catur. Buah dalam permainan catur yang urutannya ada di barisan paling depan,
dengan hanya satu langkah, dan sering dikorbankan dalam permainan. Namun
baginya, pion catur adalah objek terpenting, bergerak ringan dengan satu
langkah, merintis, dan bergerak sedikit-demi sedikit demi suksesnya permainan.
Itulah dirinya, seorang
pionir bagi kehidupannya.
Kami mendengarkan seksama. Terhanyut pada ceritanya, dan memberi tepukan tangan
di kemudian. Giliran dilanjutkan, oleh seseorang di samping pria pionir itu. Ia
menunjukkan kertas bergambar awan di langit. Kelakarnya tentang tujuan serta
pencapaian yang besar setinggi langit. Itu pedoman hidupnya: awan yang lembut,
labil dalam hal berubah bentuk bukan karena tak tetap pendirian, namun demi
pencapaian tertinggi, perubahan itu ia nikmati.
Lagi, orang-orang dalam rentet lingkaran ini tertegun. Dan giliran terus
berlanjut. Cerita terus diutarakan. Mereka menunjukkan gambar-gambar itu;
angin, aliran sungai, bahkan not tanda nada.
Si angin berkisah tentang dirinya yang dapat tenang, sepoi-sepoi memberi
kesejukan bagi mereka yang membutuhkan. Tapi sewaktu-waktu dapat menjelma topan
bila kemarahannya dipancing, ibarat seperti alam yang dirusak, maka topan itu
bertindak. Sedangkan si aliran sungai, berkata jika dirinya adalah yang paling
mengikuti kehendak arus. Menghanyutkan apapun tanpa peduli, juga menyimpan
apapun tanpa ampun. Dirinya adalah aliran yang setia mengalir dari atas ke
bawah, sampai pada akhirnya menemukan muara dari perjalanan panjang yang ia
lewati bersama kelokan
sungai. Berbeda dengan sang tanda nada, ia bercerita, bahwa dirinya bebas.
Berbunyi dengan dana yang melenting sempurna, tak peduli dari mana. Baik dari
petikan dawai harpa, senar gitar, tiupan suling, atau lemparan batu pada air
kolam. Dirinya bebas merambah dalam dentingan nada mayor nan manis sekaligus
magis.
Cerita-cerita itu memukau. Setiap detailnya mengagumkan. Tak pernah kusangka,
setiap kita punya imajiner tinggi mengenai independensi hidup. Mengenai pilihan
yang berkaitan langsung ataupun tak lengsung dengan keputusan. Dan setiap kita
menghargai, serta mencintainya dengan sederhana.
Hingga akhirnya, giliran bagiku datang. Setiap individu menunggu untukku
menunjukkan gambar yang sejak tadi kusembunyikan. Kam pun tak kalah
antusiasnya. Penasaran dengan secarik kertas ditanganku. Perlahan, kubumbungkan
kertas itu ke udara, dan
menunjukkan gambar yang ada padanya.
Tertera, gambar lampu yang sedang menyala. Fluorescence.
Lampu pendar. Di saat yang lain sibuk dengan rasa penasaran dan tanda tanya di
kepala. Kamu, tersenyum manis mengamati gambar milikku. Di saat itu pula, detak
jantungku memalpirasi. Berdetak tidak karuan, sampai aliran darahku mengalir
tanpa kendali. Limbung sekaligus melayang dalam ranah dimensi yang tidak megiikut-sertakan waktu dan
ruang. Tapi kamu di sana. Ada dan terseyum manis untukku.
Pertanyaan-pertanyaan itu berdatangan. Mengenai alasan mengapa lampu pendar
jadi pilihanku. Sesungguhnya, aku pun kebingungan. Tidak punya alasan pasti
mengapa harus itu yang kugambarkan. Tapi dalam ketidakmengertian itu,
kuusahakan memberi penjelasan. Seketika aku dibimbing dalam
ketidakmengertianku. Aku berkisah, tentang sebuah lukisan. Satu jenis lukisan
yang hanya akan dapat dilihat, jika Fluorescence yang meneranginya.
Bukan sembarang kuceritakan hal itu. Aku pernah terjebak dalam suatu ruangan,
tepatnya dalam mimpi ketika dalam keadaan sakit aku tertidur pulas. Ruangan itu
kosong, tatkala aku di sana, lampu di ruangan itu sontak mati. Mendadak jadi
gulita. Namun pada waktu bersamaan, cahaya lain datang. Cahaya yang menenangkan
sekaligus membuat takjub. Cahaya itu menjadikan ruangan yang sebelumnya gelap,
sontak dipenuhi lukisan pesawat kertas aneka posisi. Pesawat kertas itu
berpendar di seanterio sisi. Seolah melayang mengelilingi aku yang tengah
terpaku akibat peristiwa itu. Seketika aku merasa hidup, begitu lengkap, begitu
utuh. Kutemukan ketenangan di sana, sesuatu yang merambah eksistensiku. Tak
kutahu apa namanya, namun ia sebegitu digdaya. Aku terpesona, dihujani beraneka
sensasi.
Sekelilingku diam. Terhanyut pada ceritaku mengenai lampu pendar. Kemudian riuh
suara tepukan tangan. Kali ini aku menatapmu tanpa ragu, bahkan ketika matamu
sedang mengarah padaku. Aku tidak peduli. Kornea kita bertemu, aku tenggelam
dalam pandangan. Dan berharap tak harus timbul kepermukaan.
Sampailah di jenak agenda malam ini berakhir. Membubarkan barisan lingkaran
yang terbentuk. Masing-masing kini mencari tempat peraduan. Pukul dua dini
hari. Berbeda dengan yang lain, kamu malah tidak memilih untuk beranjak tidur.
Di luar, pandanganmu mengarah pada langit malam, bintang-bintang, juga sinar
bulan. Dari tempatku ini, aku mengamati. Ingin sekali berlari menuju kamu dan
tanpa ragu merengkuh sosokmu dari belakang. Merasakan setiap senti hangat
tubuhmu. Mengagumi kamu lewat setiap hembusan napas yang sama-sama kita hela.
Menikmati dekapan itu sampai matahari memergoki kita berdua.
Tapi aku memang penghayal yang hebat. Pelamun profesional. Tiada yang
salah ataupun benar mengenai hal itu. Aku hanya melakukannya dengan atau tanpa
alasan. Meski sering aku menunggu, kapan saat itu tiba. Saat di mana bahasa
perasaan ini mampu kukatakan. Kendati mulut ini ingin bersuara, mengungkapkan
segalanya, tapi tak ada abjad yang keluar, tak ada kata yang terlontar. Satu
pun tidak, selain senyum dan anggukan kepala. Tiada yang salah mengenai isyarat
ini. Aku menikmatinya. Dan merasa tercukupi karenanya.
Medan, 26 Januari 2017
Sumber: Google |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar